Minggu, 20 September 2009

TWIN STORY : ADIKKU SAYANG


Cerita 2: Adikku Sayang

Aku punya adik kembar bernama Tia dan Ita. Meraka itu lucu dan menggemaskan serta pintar. Aku saya...aang banget, sama mereka. Mereka kalo nangis, nggak lama-lama banget! Misalnya saat Tia nangis, Ita segera membuat cerita lucu atau tebakan lucu. Begitu pula sebaliknya. Tapi... mereka kalo udah ketawa tuh, susah berhentinya! Apalagi kalo aku lagi belajar, aku ngerasa keganggu banget! Tapi aku nggak tega marahin mereka! Soalnya mereka itu adekku satu-satunya! Eh, kalo ada dua, berarti dua-duanya, dong?

><><><><><><><><><><><><><

“Pagi yang cerah!!” seruku saat melihat keluar jendela. Hari itu hari Sabtu. Hari Sabtu dan Minggu aku diliburkan. Hari ini enaknya ngapain, ya?
“Kakak!!” panggil Tia dan Ita.
“Ya?!”
“Boleh pinjem krayonnya?” tanya mereka.
Aku mengangguk. “Mau buat apa, Ti, Ta?”
“Memang kita tinta? Hehehe!! Buat ngegambar, kak..” sahut mereka kompak.
“Ya sudah. Nanti kalo udah, balikin, ya!”
“He-eh!” mereka berjalan pergi.
Akhirnya daripada nggak ngapa-ngapain terus bosen, aku ngambil semua lilin mainanku. Aku pengen buat kue bolu, ah!! Tapi nggak bisa dimakan! Dengan segera aku mengambil lilin warna merah dan hijau sama banyak. Lalu kuremas-remas keduanya dengan cepat. Jadi deh, warna coklat! Lalu aku ambil mangkok bekas puding kemaren yang udah aku cuci. Kuisi mangkok itu lalu ku lepas lagi. Jadi, deh! Aku segera mengambil piring mainan dari tempat mainan masak-masakanku. Kutaro puding itu ke atas piring. Sekarang tanganku berminyak. Aku harus segera cuci tangan.
“Wah, mirip yang betulan, ya?” kataku saat melirik ‘kue’ yang kubuat. Tapi aku nggak mau lama-lama disini. Aku mau cuci tangan!
“Waah... Ita, liat! Ada kue bolu!!” teriak Tia.
“Mana, mana? Wah, iya!!”
“Kita makan, yuk?”
Ita mengangguk.
“Selamat makan!!” Ita dan Tia melahap ‘kue’ itu. Tak lama kemudian mereka tergeletak di sana.
“Nah, udah nggak berminyak lagi, nih!!” Aku segera berlari melihat keadaan ‘kue’ku. “AAAAH!! I.. ita? Ti... a??”
“Ada apa teriak-teriak, kak?” tanya Ibu. “ITA!! TIA!!”
Wajahku memucat.


><><><><><><><><><><><><><


Aku menangis di kamarku.
“Ya Allah.. selamatkanlah kedua adikku itu.. tunjukkanlah rasa sayang-Mu itu kepada hambamu ini, Ya Allah.. sembuhkanlah Ita dan Tia, Ya Allah... Janganlah Engkau mengambil kedua adikku itu.. Jangan sekarang..” isakku. Aku merasa bersalah. Kenapa aku tidak menyimpan lilin mainanku itu agar tidak diambil oleh Tia dan Ita? Ya Allah.. Janganlah Engkau cepat-cepat mengambil nyawa adikku itu.. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa pada yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Dari Ibu. SMS. Aku segera membacanya.
Kakak, sabar ya.. Jangan menangis.. Ibu sudah mengembalikan Tia pada Yang di Atas. Tetapi Ibu belum mengembalikan Ita. Ibu masih menyimpannya..
Air mataku menetes. Aku sedih. Ya.. aku masih bisa memakluminya. Bukankah aku juga adalah barang titipan? Suatu saat nanti juga aku pasti mati. Begitu juga yang lain. Kapan Ibu akan pulang? Apakah Ibu membawa serta Ita?
Hari sudah malam. Ibu belum juga pulang. Terpaksa aku shalat Maghrib duluan. Selesai shalat, bel rumah berbunyi.
“Kakak!!” panggil Ibu dari luar.
Aku berlari menuju pintu. Segera kubuka pintu. Disana tampak Ibu, dan Ita..
“Assalamu’alaikum, kakak..” salam Ita tersenyum.
“Wa’alaikum salam, Ta..” balasku.
“Ayo, Ibu mau shalat Maghrib dulu, ya?”
Ita mengangguk.
Aku memperhatikan Ita. Wajahnya pucat, bibirnya juga ikut memucat walaupun masih ada senyum disana. Alisnya seperti orang sedih. Aduh! Aku nggak boleh nangis di saat begini!
“Kakak,”
“Eh, oh.. ya, Ta?”
“Kakak kenapa?” tanya Ita.
“Nggak, kok.. kakak nggak papa..”
“Oh ya kak, ‘kue’ yang dibuat kakak itu bagus, ya?”
Hah? Disaat begini Ita malah memuji barang yang hampir merenggut nyawanya itu? Sungguh aneh! Jadi aku hanya bisa berkata, “Ah, kakak kan, emang hebat!”
“Iih! Baru dipuji dikit! Langsung ge-er, kan?” kata Ita sambil mendorongku.
Aku tertawa. Aku hampi...ir saja jatoh didorong adikku itu.
“Apa yang lucu?” tanya Ita. Tetapi sesaat kemudian Ia ikut tertawa.


><><><><><><><><><><><><><

TWIN STORY : I Love U, Dini


Twin Story

Cerita 1: I Love U, Dini!!

Pagi hari di Bandung..

“Dina!”

“Ya, Ma?”

“Sarapan, dulu! Teman-teman kamu datang, tuh!”

“Iya!!”

“Kamu mau sarapan apa?” tanya Mama.

“Emmm... sereal aja, ya?”

“Boleh! Susunya ambil sendiri di kulkas, serealnya ada di lemari makanan!”

Setelah selesai makan..

“Dina, cepet amat!!” seru Anie.

“Ah, mulutnya lebar gitu, gimana gak cepet??” canda Nira.

“Jangan ngejek, lho!!” Dina mengingatkan.

“Kenapa?” tanya Lisa.

“Kalo ngejek aku, terus aku tersinggung.... ntar kalian berubah jadi...”

“Apa?!” yang lainnya heran.

“K... o... d... o... k..!!”

“Haaaa....aaaah?!?!?!”

“Ya nggaklah..”

“Siapa juga yang mau percaya?” ledek Indah.

“Iya... sekarang giliran siapa cerita?” tanya Dina.

Lisa, Nira, Indah, Anie, menunjuk Dina, “Kamu!!”

“Oh.. aku, nih?”

Anie mengangguk.

“Ayo ke taman!!” seru Nira bersemangat.

“Ayoooo!!!!” jawab yang lain.

Mereka berlima duduk di ayunan.

“Mo cerita apa, kamu?” tanya Indah.

“Tunggu.. aku pikir dulu, yah?” pinta Dina.

Diam.

“Oke, aku udah punya cerita! Dengerin, ya...” kata Dina serius. “Ini betulan, lho.. sebetulnya ini rahasiaku.. tapi, kalo kalian pasti bisa jaga mulut, kan?”

“Iya!”

“Sebetulanya, aku punya kembaran namanya Dini. Sekarang dia ada di rumah sodaraku soalnya dia itu dipindah ke sana, di Bogor! Dia itu sama persis kaya aku! Kadang Mama n Papa aja ketuker aku sama dia.. Nah... gara-gara itu, dia dikirim ke Bogor biar aku dan dia nggak ketuker lagi.. aku jadi sedih.... sebetulnya aku, yang mau dikirim kesana! Karena Mama n Papa ketuker, jadi baju aku yang dibawa kesana! Celana... Tempat makan... tempat minum.. dan yang lain!! Untung bajunya pas buat aku, soalnya kan, sama!! Namanya juga kembaran? Pasti sama, donk!!”

“Jadi kamu punya kembaran yang sama kayak kamu?” Indah kaget.

“Jadi ada satu muka lagi yang kayak begini??” Anie menunjuk muka Dina sambil tersenyum nakal.

“Nggak sopan!!”

“Waw!!” timpal Lisa.

“Super!” komentar Nira gak jelas.

“Apanya yang super?”

“Aku juga nggak tau, deh! Tapi rasanya super banget! Tapi aku nggak tau kenapa aku bilang super tiba-tiba. Tanya mulutku aja, deh?!”

Tiba-tiba di depan taman lewat tukang es krim.

“Es krim!! Ada rasa coklat, stroberi, vanila, sama bluberi!! Murah! Cuma 500 dan 1.000 rupiah gak pake yen!”

“Bang! Beli!!” teriak Lisa.

“Lis, tunggu!!” teriak keempat temannya.

“Mau rasa apa, dek?”

“Rasa bluberi sama stoberi, bang!”

“Bang, saya beli juga, dong!” Nira menyodorkan uang.

“Saya juga!” kata Dina.

“Saya!” Indah ikutan.

“Aku duluan, yang penting! Saya, ya!!!” serobot Anie.

“Iya.. semuanya dapet! Ntar es krimnya jatoh!” tegur si abang es krim.

“Nih, yang duluan siapa?”

“Saya!!”

*

Esoknya sepucuk surat datang. Surat itu dutujukan kepada Dina.

“Dina, ada surat! Dari pamanmu!!”

“Wah, surat apa, ya?” kata Dina heran.

“Sudah, kalo penasaran kamu cepet-cepet baca aja?!” usul Mama.

Dina segera berlari ke kamarnya. Tiba di kamar ia segera membuka amplop berwarna kuning itu. Dina merasa bahwa warna kuning untuk amplop itu aneh. Perasaan Dina tidak enak. Kuning kan lambang....

Setelah membaca surat itu, muka Dina berubah pucat. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Pandangannya kabur ke Jakarta. Hehehe... Dan tidak sampai semenit, Dina pingsan di lantai kamarnya yang dingin.

UIII... UIII...

“Hanya pingsan.. tidak perlu khawatir, bu! Sebentar lagi paling sudah sadar,” kata Pak Dokter.

“Terima kasih, Pak! Saya sempat cemas, tadi!” seru Mama sambil mengusap dadanya.

“Ibu dan Bapak mau menunggu anaknya sampai sadar?” tawar Pak Dokter.

Mama dan Papa mengangguk.

><><><><><><><><><><><><><

“Hiks.. hiks...” isak Dina.

“Dina...” panggil seseorang.

“Di.. ni..??” Dina terkejut.

“Jangan menangis, Dina.. kamu sudah berjanji denganku tidak akan menangis di depanku, kan?” kata Dini.

“Tapi, aku sedih sekali..”

“Ayo, aku tunjukkan sesuatu yang hebat buatmu..” ajak Dini.

“Sesuatu yang hebat?”

“Ya.. ayo ikut aku!”

Setelah lama berjalan..

“A.. pa ini?” tanya Dina terheran-heran.

“Ini adalah jembatan mimpi, Dina.. jika kamu melewati ini, kamu akan terbangun.. di dunia nyata, Mama dan Papa menunggumu, Dina,” jelas Dini.

“Tapi aku ingin terus bersamamu, Dini,”

“Tidak bisa.. nyawaku sudah diambil.. sedangkan nyawamu masih ada di dalam tubuhmu.. Jadi itu tidak mungkin dilakukan..”

“Kalau begitu aku tidak akan melewati jembatan mimpi ini! Aku akan terus tidur!!” kata Dina bersikeras.

“Dina..” Dini menenangkan Dina yang sedang terisak, “Bagaimana kalau kau bangun, tetapi setiap malam kita bermain? Walau hanya dalam mimpi, kita tetap bertemu, Dina!” bujuk Dini.

“Benarkah?” Dina kurang percaya.

Dini mengangguk.

“Janji?”

“Janji!” kata Dini meyakinkan.

Mereka mengaitkan jari kelingking masing-masing. Setelah itu Dina segera melewati jembatan mimpi itu agar segera terbangun dan memeluk Mama dan Papa.